beritadunesia-logo

Provinsi Maluku Utara

MalukuNama Resmi : Provinsi Maluku Utara
Ibukota : Ternate
Luas Wilayah : 140.255,32 Km2
Gubernur : KH. Abdul Ghani Kasuba, Lc
Wakil Gubernur :
Ir. Muhammad Natsir Thaib
Jumlah Penduduk : 890.000 Jiwa
Kabupaten : 6
Kotamadya : 2
Website : www.malutprov.go.id
Alamat Kantor :
Jl. Raya Patimura No. 7 Ambon,
Telp (0911) 322321
Fax. (0911) 54413



Sejarah

Provinsi Maluku Utara (Malut) merupakan salah satu Provinsi kepulauan yang dimekarkan dari Provinsi Maluku melalui Undang-undang RI Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat kemudian, diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negera Nomor 3895). Daerah ini pada mulanya adalah bekas wilayah empat kerajaan Islam terbesar di bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku). Masing-masing adalah Kesultanan Bacan, Kesultanan Jailolo, Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.
Pada era pendudukan tentara Jepang (1942-1945), Ternate menjadi pusat kedudukan penguasa Jepang untuk wilayah Pasifik. Memasuki era kemerdekaan, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan. Kedudukannya sebagai karesidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957. Setelah itu kedudukannya dibagi dalam beberapa daerah tingkat II (kabupaten).
Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta.
Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRD-GR merespon upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang kongkrit.
Pada masa kemerdekaan dan selanjutnya pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota. Kabupaten Maluku Utara beribukota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribukota di Soa Sio, Tidore, dan Kota Administratif Ternate beribukota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku dengan ibukota Ambon.
Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan pembangunan dibeberapa wilayah potensial dengan membentuk Provinsi-Provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah Provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi. Atas dasar itu, Pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibukota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dengan demikian Provinsi ini secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 sebagai pemekaran dari Provinsi Maluku dengan wilayah administrasi terdiri atas Kabupaten Maluku Utara, Kota Ternate dan Kabupaten Maluku Utara. Selanjutnya melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Sula Kepulauan, dan Kota Tidore Kepulauan.
 
Karakteristik Sosial Budaya dan Adat Istiadat
Daerah Moloku Kie Raha (Maluku Utara dan Halmahera Tengah) adalah sebuah kawasan terpencil di ufuk timur bagian utara dari kepulauan Indonesia yang tumbuh berkembang sejak puluhan abad yang lampau telah dikenal oleh bangsa Barat termasuk daerah Timur Tengah, apalagi di kawasan ini.
Para saudagar Arab memberi nama kepulauan ini Jazirat Al-Mulk yang artinya negeri raja-raja. Dari kata Muluk inilah menjadi Moluco menurut ucapan dan ortografi orang Portugis, Moluken menurut orang Belanda dan terakhir orang Indonesia sendiri disebut Maluku.
Potensi sumber daya alamnya sangat potensial, memiliki dan menghasilkan bahan-bahan komoditi utama dunia pada masanya seperti cengkih, pala dan fuli yang sangat dibutuhkan oleh manusia, khususnya bangsa Eropa pada masa tersebut.
Dari keterangan yang telah dikemukakan, memberikan pemahaman kepada kita bahwa mereka yang memiliki keturunan dari kerajaan Tidore, memiliki nilai kejuangan yang tinggi. Sedangkan Ternate dengan makna yang telah dikemukakan memberi isyarat bahwa keturunan kerajaan Ternate lebih pada pendekatan siapa yang pantas diakui sebagai tokoh untuk diikuti pandangannya.
Jailolo adalah kesultanan yang tidak terlalu banyak dibicarakan orang dan sedikit sekali tulisan-tulisan yang mambahas kerajaan Jailolo. Jailolo berarti mengerjakan sesuatu terlalu terburu-buru. Fungsi dan kedudukan Sultan Jailolo adalah hubungan luar negeri.
Bacan, arti harfiahnya adalah baca, yang oleh Sultan Musaffar Syah (Sultan Ternate) mengatakan Bacan adalah memasukkan sesuatu, itu berarti bahwa mambaca adalah usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk memasukkan sesuatu kedalam otaknya untuk menjadi pengetahuan. Tugas dan fungsi sultan Bacan adalah memasok logistik.
Sistem pemerintahan Moloku Kie Raha (Ternate, Jailolo, Bacan dan Tidore) pada masa itu umumnya berjalan di atas partership executive (bobato ngaruha = dewan empat) dan legislatif (bobato nyagimoi setufkange = dewan delapanbelas sebagai unsur perwakilan, ditunjuk/dipilih Kimelaha Labuha, Kimelaha Tobona Waiola). Jazirat Al-Mulk yang telah meninggalkan tapak-tapak sejarah yang panjang. Kesultanan Islam pertama sebelum Majapahit lahir, wilayahnya mencakup seluruh kepulauan Maluku, Irian Bagian Barat, Nusa Tenggara, Sulawesi, Sambas dan Singkawang bahkan sampai ke Philipina Selatan. Kemudian berdatangan orang Portugis dan Spanyol mereka ini bercokol tetapi harus berhadapan dengan Sultan-sultan yang gagah berani.
Dengan munculnya Ternate dalam abad ke-14 sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan dalam percaturan politik dan diplomasi, maka bahasa Ternate memperoleh kedudukan yang berpengaruh pula. Lagi pula kota Ternate sebagai pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan meletakkan hubungan komunikasi jauh ke luar batas-batas Nusantara, dan sebagai akibat hubungan-hubungan itu terjadi konvergensi gerakan barang dan manusia ke Kota Ternate. Dengan demikian tercipta kondisi sosiolinguistik yang memungkinkan bahasa Melayu berkembang sebagai bahasa pengantar bangsa-bangsa dan antar komunitas etnik. Kondisi seperti ini dapat dilihat hingga saat ini dimana bahasa Melayu digunakan dikalangan masyarakat sampai pada lapisan bawah.
Sedangkan berdasarkan keberadaan bahasa Ternate, bahasa Melayu dan bahasa-bahasa etnik yang terdapat dalam wilayah pengaruh Ternate berkembang suatu sistem komunikasi yang memperlihatkan suatu kegiatan interaktif yang kompleks antara Bahasa Ternate, bahasa-bahasa etnik Non-Austronesia lainnya di Halmahera, dan bahasa-bahasa etnik Non-Austronesia di luar Halmahera itu sendiri.
Sensus penduduk yang dilakukan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda tahun 1930, yang memberi perhatian kesuku-bangsaan yang mendiami jazirah Moloku Kie Raha pernah membuat kategori tersendiri untuk kelompok Halmahera. Kolompok etnik yang memiliki bahasa atau dialek tersendiri yang tergabung dalam keluarga bahasa Halmahera itu antara lain kelompok dengan bahasa Tidore, Ternate, Sahu, Makian Barat, Tobaru, Galela, Ibu, Loloda, Tobelo, Modole, Pagu, Waioli, Morotai, Bacan, Obi, Gurua, Koharlamo, Wohia, Gamsungi, Buli, Pediwang, Lolobata dan lain-lain.
Kelompok-kelompok etnik tersebut ada yang berdiam di Pulau Halmahera, misalnya orang Sahu, orang Pagu, orang Modole. Kelompok tertentu ada yang berdiam di dataran pulau Halmahera dan menyebar di dataran pulau Halmahera dan menyebar di pulau-pulau lain disekitarnya. Misalnya orang Ternate selain mendiami pulau Ternate juga berdiam di pantai barat pulau Halmahera.
Masyarakat budaya Maluku Utara memperlihatkan keterkaitan dengan adat istiadat yang memperlihatkan suatu identitas tersendiri. Namun secara keseluruhan dapat dibedakan dalam 3 wilayah kultural yaitu, (a) Wilayah kultur Ternate yang meliputi kepulauan Ternate, Halmahera Utara dan Kupulauan Sula, (b) Wilayah kultur Tidore yang mencakupi kepulauan Tidore dan Halmahera Tengah/Timur, (c) Wilayah kultur Bacan yang meliputi kepulauan Bacan dan Obi. Pembagian wilayah budaya ini tidak menunjukkan suatu perbedaan prinsipal tetapi bersifat gradual, dilihat dari ciri adat istadatnya.
Berdasarkan lingkungan ekosistem kebudayaan, Penduduk Maluku Utara mendiami beberapa pusat lingkungan kebudayaan seperti kebudayaan masyarakat peladang serta pemburu yang masih sering berpindah tempat dan kebudayaan pantai yang banyak dipengaruhi kebudayaan Islam yang kuat serta kegiatan perdagangan yang menonjol. Penganut kebudayaan pantai ini selain dipengaruhi kebudayaan Islam juga karena kegiatan perdagangan, mereka menduduki pusat-pusat perdagangan sepanjang pantai bersama-sama dengan pedagang yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Mereka mengembangkan kebudayaan yang beorientasi pada perdagangan dan semangat mengutamakan pendidikan agama dan hukum Islam serta mengembangkan bentuk tari, musik dan kesusastraan sebagai unsur pemersatu. Ciri kebudayaan tersebut masih nampak dewasa ini pada masyarakat pantai yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kediaman suku bangsa yang mendiami daerah Maluku Utara yang berasal dari bangsa Melanesia dan Polinesia terdiri dari kurang lebih 28 suku bangsa yang dapat disebut antara lain Tobaru, Wayoli, Tobelo, Galela, Sahu, Modole, Togutil, Sawai, Buli, Bajo dan lain-lain, dengan 29 bahasa daerah.
Bahasa daerah di kepulauan Maluku Utara memperlihatkan variasi beraneka ragam yang menurut para ahli bahasa bahwa untuk wilayah pulau-pulau Bagian Barat Halmahera tidak termasuk dalam rumpun bahasa Melayu.
Keseluruhan bahasa daerah yang berpuluh-puluh tersebut bahkan antara satu buah pulau kecil dapat memiliki bahasa yang berbeda, ini merupakan frontir penelitian yang menarik. Namun demikian bila ditelusuri lebih jauh kesimpulan umum dapat ditarik bahwa untuk setiap wilayah kultur selalu menggunakan bahasa kesatuan yaitu bahasa Ternate, Tidore dan Bacan, dengan tingkat yang lebih jauh umumnya daerah Maluku Utara dapat memahami bahasa Ternate dan Tidore.
Bila dikaji lebih jauh ke belakang sebetulnya sejak sebelum masa kolonial telah banyak suku bangsa bahkan ras-ras dari berbagai negeri dan benua yang telah datang ke daerah ini. Hal ini dikarenakan daerah ini memiliki daya tarik rempah-rempah (cengkih dan pala) yang menarik pelaut-pelaut Cina, Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris beramai-ramai mencari jalur ke Ternate, Tidore, Halmahera, Banda dan Ambon.
Disamping kelompok-kelompok etnik setempat, kelompok-kelompok etnik lain yang berasal dari luar Maluku Utara Seperti Sulawesi (Selatan, Tenggara, Tengah, Utara) Jawa, Sumatera, Cina Ambon dan lain-lain datang dan menetap. Diantara mereka ada yang kawin dengan penduduk asli setempat dan ada yang tinggal sementara waktu karena mencari nafkah. Demikian pula dengan penganut agama lain yang disamping Islam dan Kristen, seperti Konghucu, Hindu dan Budha meskipun dalam jumlah yang kecil. Mereka ini hidup berdampingan dan kadang kala ada pula yang membaur dengan suku maupun penganut agama lainnya.
Diakui bahwa dengan potensi hasil rempah-rempah di daerah ini, maka bahasa memegang peran penting dalam perdagangan pada bad-abad lampau, namun bersamaan dengan itu pula terjadi infiltrasi kebudayaan dari luar yang kuat terutama pengaruh Bahasa Melayu sehingga secara keseluruhan masyarakat yang ada di Maluku Utara umumnya menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa utama sementara bahasa daerah digunakan manakala lawan bicara memiliki suku yang sama atau paling tidak memahami bahasa daerah digunakan pada lingungan suku bangsa yang sama atau pada mereka yang mengetahui bahasa tersebut.